Kamis, 29 Desember 2011

syari'ah phobia

MAAF.NASKAH INI SAYA COPY PASTE DARI ANAWINTA.JUJUR BUKAN KARYA ORIGINAL SAYA. SEMOGA JADI RENUNGAN.SYARIAH POBHIA Tahun 2007 lalu Abdullahi
Ahmad an-Naim bedah buku
terjemahannya. Judul
bukunya Islam dan Negara
Sekuler, Menegosiasikan
Masa Depan Syariat Islam. Sebagai salah seorang
pembedah saya
mengemukakan beberapa
kritikan. Diantaranya saya
mengkiritik konsepnya
tentang syariah, Negara, public reason dsb.
Menurutnya, syariat Islam
tercipta selama tiga abad
pertama Hijrah. Syariah
hanyalah interpretasi Muslim
atas kitab suci mereka. Muslim generasi awal “tidak
mengenal dan tidak
menerapkan
syariah” (hal.33). Nampaknya, ia tidak
percaya bahwa dalam al-
Qur’an terdapat syariah atau
hukum. Kalau syariah
diartikan jalan berarti juga
inkar bahwa Islam adalah jalan. Jadi syariah itu dibuat
oleh manusia. Di akhir
diskusi dia menghadiahi
saya bukunya itu dan
menorehkan tanda tangan
serta menulis “With profound appreciation”. Mungkin dia
menerima keritikan saya.
Wallahu a’lam Teori an-Naim lalu saya
kaitkan dengan definisi
Cheryl Bernard dari Rand
Coorporation, AS. Dalam
bukunya Civil Democratic
Islam, Cheryl mendefinisikan syariah sebagai the entire
body of Islamic law and
guidance, based on the
Quran, hadith and scholarly
judgments, and open to
selective use and interpretation. Intinya syariah
itu adalah produk hukum.
Seorang pembela Islam
Liberal menulis dalam
sebuah koran “tidak ada
hukum Tuhan, yang ada hanya hukum manusia”.
Ketiganya bermaksud sama
mengartikan syariah sebagai
hasil “interpretasi manusia
Muslim” terhadap kitab
sucinya. Apa yang dimaksud
“interpretasi” ternyata beda
dari Tafsir atau Ta’wil.
Interpretasi mementingkan
sejarah teks. Al-Qur’an
dibedah sejarahnya, dikait- kaitkan dengan situasi
politik, sosial, psikologis,
ideologi dsb. Alhasil, al-
Qur’an menjadi bukan
wahyu suci, tapi produk
budaya Arab. Tafsir pun tidak lagi berkaitan dengan
teks, tapi dengan budaya
disekitar teks. Maka, sebab
khusus ayat itu diturunkan
(khusus-u-sabab) lebih
penting dari arti eksplisit (perintah) ayat itu (umum-ul-
lafz). Karena teori ini para
ulama mufassir pun dicurigai
sebagai memiliki
kepentingan, kalau tidak
terjerat kondisi sosial budaya. Lalu timbul rumus
“Penafsiran ulama itu
kondisional dan relatif, yang
mutlak hanya Tuhan”. Para
Kyai di pesantren bingung.
Cara berfikir seperti itu tidak ada dalam kitab kuning. Ternyata itu semua adalah
bagian dari sekenario
intelektual untuk menumpas
Muslim fundamentalis.
Buktinya terdapat pada
saran Cheryl Bernard “Challenge their
interpretation of Islam and
expose
inaccuracies” (tantanglah
interpretasi mereka
[fundamentalis] tentang Islam dan beberkan ketidak-
akuratannya). Saran ini
ditaati cendekiawan Muslim
liberal dengan penuh
takzim. Respon para dosen
Ilmu Tafsir malah lebih kreatif “satu ayat seribu
tafsir”, “kitab-kitab Tafsir
klasik tidak relevan lagi”,
bahkan “tidak kontekstual”. Untuk membuktikan “seribu
tafsir” muncullah tafsir baru
untuk menjual “dagangan”
feminisme radikal, misalnya.
Seorang professor pemikiran
Islam menyatakan bahwa “lesbianism itu halal”.
Sekumpulan dosen fakultas
syariah menyatakan bahwa
homoseksualisme itu tidak
dilarang syariat Islam. Tafsir
“baru” menghasilkan syariat (hukum) “baru”. Hukum
“baru” nikah beda agama,
hukum waris, wanita menjadi
imam laki-laki, hak wanita
menceraikan suami dan
sebagainya muncul mengejutkan. Tafsir-tafsir “baru” itu
nampaknya adalah
peng“amalan” dari dawuh
Cheryl Bernard. Menafsirkan
berarti to depart from,
modify, and selectively ignore elements of the
original religious doctrine.
(menyimpang dari,
memodifikasi, dan secara
selektif mengesampingkan
elemen-elemen dari doktrin keagamaan yang asli). Itulah
liberalisasi syariah.
“Siapapun bebas
menafsirkan hukum apa
saja. Siapapun bebas
mencipta syariah. Islam adalah liberal”. Bukan hanya itu, liberalisasi
plus sekularisasi menolak
praktek syariah. Ketika
sejumlah daerah sepakat
menyusun PERDA bagi
pelanggar tindak a-moral seperti mencuri, minuman
keras, berzina, berjudi dan
berkelahi, semua orang
sepakat dan gembira. Tapi
ketika orang-orang liberal
sekuler mencium “bau” syariah, sontak mereka
protes. Meski tidak berbunyi
“perda syariah”, perda itu
dianggap “inkonstitusional”
dan “menyulut disintegrasi
bangsa”. Ketika pornografi merajalela
di tanah air, semua sepakat
itu merusak moral bangsa.
Semua pun sepakat untuk
diatur dalam Undang-
Undang Pornografi (UUP). Namun, begitu terdengar
bahwa pornografi itu haram
hukumnya, RUUP itu
menuai badai protes.
Memberlakukan UUP
dianggap sebagai Islamisasi, “memberangus kebebasan
seni dan kreatifitas” dan
“membunuh budaya”. Karena menolak syariah
konon perumus RUU
Pornografi bingung mencari
batasan (hudud). Apa
batasan aurat dalam seni,
kreatifitas dan budaya? Berapa sentimeter goyang
yang diperbolehkan, berapa
cm paha boleh dibuka?
Ternyata syariah ditolak,
nurani pun digasak. To do
away with the one is to do away with another, kata
Nietzsche. Padahal ketika, Spice Girl,
grup musik Inggeris tahun 90
an pentas di Perancis
mereka dilempari telur
busuk. Gara-gara
berpakaian tak senonoh. Ternyata, orang sekulerpun
masih punya nurani.
Mengapa negeri Muslim ini
tidak. Boleh jadi, goyang
“ngebor” dangdut Indonesia
di Perancis sana haram hukumnya. Muslim negeri nampak
begitu kompak-toleran pada
kemaksiatan. Ketika yang
liberal menegaskan “tidak
ada hukum Tuhan”, yang
sekuler akur “tidak ada yang haram dinegeri ini”. Para
artis tambah yakin “buka-
bukaan boleh asal
professional”. Artinya anda
boleh berbuat dosa asal
dibayar tinggi”. “Anda boleh selingkuh (berzina) asal tidak
menyakiti orang lain”.
Prinsipnya benar-benar
mem-Barat. Itulah liberal
yang menurut Cheryl are the
most Westernized. Sejatinya, syari’ah tidak lain
dari hukum, undang-undang
atau jalan. Undang-undang
yang sesuai dengan nurani
atau fitrah manusia. Jalan
hidup yang membebaskan, mensucikan, menenangkan,
membersihkan, manusia dari
segala nestapa kehidupan
dunia. Yang taat hukum
akan melangkah
menemukan fitrah diri. Yang melanggar akan
rmenentangnya alias
menzalimi diri sendiri (zalim li
nafsihi), awal dari kezaliman
yang lebih besar yaitu ingkar
Tuhan. Tapi Muslim yang baik adalah yang
menjadikan syariah sebagai
jalan. Bukan kewajiban tap
keperluan. “Saya tidak
hanya wajib puasa,
misalnya, tapi perlu”. Taat dan berserah diri pada
aturan itulah ber-islam.
Pesan Nabi “Berserah dirilah
anda akan selamat (aslim
taslam)”, Selamat dari
kejahatan diri, manusia dan kehidupan. (Hamid Fahmy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar